Jangan Bugil didepan Kamera
Diantara kewajiban suami terhadap istrinya atau sebaliknya adalah saling menjaga, memelihara rahasia yang mereka berdua lakukan di tempat tidur dan tidak menceritakannya kepada siapa pun, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya diantara orang yang buruk posisinya di sisi Allah swt pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya dan istrinya menggauli suaminya lalu dia menyebarluaskan rahasianya.” (Muttafaq Alaih)
Imam Nawawi mengatakan bahwa didalam hadits ini terdapat pengharaman menyebarluaskan yang dilakukan seorang lelaki tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan istrinya yaitu tentang perkara-perkara kenikmatan antara mereka berdua, mengisahkan tentang rincian yang dilakukan istrinya, seperti : ucapannya, apa yang dilakukannya atau lainnya.
Adapun jika hanya sebatas menyebutkan jima’ (bahwa dirinya telah berjima, pen) maka jika tidak ada perlu atau kebutuhan untuk mengatakannya maka hal itu makruh karena bertentangan dengan kesopanan. Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang beriman dengan Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam.”. Namun jika terdapat kebutuhan atau penyebutannya itu mengandung manfaat seperti menepis anggapan bahwa dirinya tidak mau menggauli istrinya atau anggapan bahwa dirinya tidak lagi memiliki kesanggupan untuk berjima’ atau sejenisnya maka penyebutan hal ini tidaklah makruh, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya aku melakukannya aku dan dia.” Sabda Rasulullah saw bersabda kepada Abi Thalhah,”Apakah engkau menggaulinya semalam?” Dan ungkapannya kepada Jabir.”Cerdas, cerdas.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi Juz X hal 13)
Dengan demikian tidak dibolehkan bagi seorang suami mengambil gambar baik dengan foto maupun video terhadap adegan bercinta yang dilakukannya dengan istrinya di tempat tidur meskipun hanya sebatas untuk konsumsi mereka berdua saja karena tidak menutup kemungkinan bahwa gambar atau film tersebut suatu saat akan dilihat oleh selain mereka berdua atau jatuh ketangan orang lain. Dan jika hal ini terjadi maka apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw didalam hadits diatas akan terjadi bahkan lebih berat lagi karena hal itu bukan hanya sebatas perkataan akan tetapi sudah berupa gambar atau film yang mengisahkan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Allah swt :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ﴿٣٠﴾
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 30 – 31)
Begitu pula dengan mengambil gambar atau foto bagian tubuh istrinya yang termasuk auratnya meskipun hanya untuk konsumsi dirinya saja maka tidak dibolehkan dikarenakan alasan diatas.
Kedua perbuatan tersebut—mengambil gambar atau film adegan bercinta atau hanya sebatas foto salah aurat istrinya—bisa menjadi pintu-pintu perzinahan atau memberikan sarana untuk terjadinya maksiat orang yang melihatnya jika foto atau film itu jatuh atau dilihat oleh mereka, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah penglihatan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.”
Juga firman Allah swt :
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)
Jadi perbuatan tersebut tidaklah dibolehkan dikarenakan tindakan preventif dari akan terjadinya sebuah kemaksiatan lebih diutamakan, sebagaiman disebutkan didalam sebuah kaidah ushul “Menutup Jalan Terjadinya Kemaksiatan”.
bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
0 komentar:
Posting Komentar