Membangun Masyarakat Mandiri Ala Rasulullah
Kelahiran Muhammad SAW adalah momentum sejarah terpenting bagi umat manusia di seluruh dunia. Keberhasilannya membangun watak pribadi para pengikutnya dan menciptakan masyarakat adil makmur membelalakkan mata semua orang. Penulis Barat seperti Michael Hart dalam Seratus Tokoh Terkemuka di Dunia menempatkannya pada posisi teratas.
Ensiklopedia Britanica menulis, "Dari semua personalitas agama di dunia, Muhammadlah yang paling sukses". Sebuah pengakuan paling jujur atas keberhasilan Muhammad. Bila demikian, sangat tidak beralasan meragukan pernyataan Allah, "Sungguh di dalam diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kalian; bagi orang yang mengimrapkan Allah dan Hari Akhirat, dan banyak mengingat Allah" (Al-Ahzab [37]: 21).
Meneladani Muhammad mengharuskan kita kembali bercengkerama dengan penggalan-penggalan kisahnya dalam pajangan etalase sejarah. Sungguh amat menarik, ibarat berwisata mengelilingi reruntuhan peradaban masa silam di pojok-pojok museum dan cagar budaya. Kadang kita terseret hanyut ke dalam pesona keindahan masa silam, lupa bahwa kita bukan tengah berwisata. Kita hendak menggali cercahan cahaya-cahaya di balik kisah-kisahnya untuk diteladani hari ini.
Salah satu kisah penting yang patut dikenang adalah keberhasilan Muhammad membangun masyarakat Madinah. Robert N Bellah dalam Beyond Belief menyebutnya sebagai masyarakat modern yang mendahului zamannya. Sayang, sisi ini jarang diungkap oleh sejarawan-sejarawan Muslim. Buku-buku sejarah Muhammad (sirah nabawiyyah) terlalu sesak dengan cerita mengenai intrik politik dan perebutan supremasi melalui perang. Seolah-olah sejarah Muhammad dan Islam adalah sejarah perebutan kekuasaan dan perang. Sepertinya tidak ada sisi penting lain dalam kehidupan Muhammad dan para sahabatnya, selain politik dan hegemoni kekuasaan. Reduksi sejarah semacam itulah yang membuat sekan-akan usaha keras Muhammad dalam mewujudkan masyarakat sejahtera tidak lebih berarti dibandingkan dengan perebutan kekuasaan melalui perang.
Sejak di Makkah, Muhammad telah memulai usahanya mewujudkan masyarakat melalui pembinaan mental individu para pengikutnya. Oleh banyak sejarawan, periode yang dilalui tiga tahun lebih lama daripada periode Madinah ini disebut periode tatsqif al-fard (pembinaan individu). Di Makkah, Muhammad memang lebih banyak melakukan pembinaan pribadi para sahabatnya, terutama menanamkan akidah dan keyakinan terhadap Allah SWT. yang akan menjadi fondasi utama kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif (masyarakat).
Saat hijrah ke Madinah, mulailah usaha Muhammad membangun masyarakat (tatsqif al-mujtama`). Fakta-fakta memperlihatkan bahwa sejak awal Muhammad mencita-citakan sebuah komunitas masyarakat mandiri. Mandiri secara mental (ber-tauhid) dan mandiri secara sosial. Tidak ada satupun fakta yang memperlihatkan bahwa Muhammad hendak menciptakan masyarakat kerajaan seperti Romawi dan Persia. Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang dapat self-help, tidak tergantung pada kekuasaan dan tidak juga menjadi 'budak' para penguasa. Kekuasaan politik justru diciptakan oleh masyarakat sendiri untuk menjamin terus berlangsungnya kemandirian, bukan untuk menciptakan ketergantungan.
Ada tiga usaha penting yang dilakukannya pertama kali di Madinah untuk tujuan di atas. Pertama, membangun masjid. Masjid adalah tempat berkumpulnya masyarakat, paling tidak untuk shalat berjamaah. Masjid bukan milik siapa-siapa. Semua masyarakat berhak memilikinya. Selain memperlihatkan bahwa Muhammad memulai perjuangannya melalui masyarakat, pendirian masjid menjadi pertanda masyarakat harus berdiri di atas fondasi religius (hubungan vertikal manusia-Tuhan) yang kokoh.
Kedua, mempersaudarakan para pendatang (Muhajirin) dengan penduduk setempat (Anshar). Persaudaraan yang dibangun oleh Muhammad sama sekali bukan "persaudaraan kamuflatif". Di permukaan tampak bersatu, di dalam terpendam permusuhan. Persaudaraan dilakukan antarindividu hingga tercermin persaudaraan yang sesungguhnya. Sirah Ibnu Hisyam dan Thabaqat Ibnu Sa'ad yang dikutip al-Buthi menceritakan:
"Kemudian Rasulullah sungguh-sungguh mempersaudarakan para sahabatnya, dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ia mempersaudarakan mereka atas dasar kebenaran dan persamaan, serta saling mewarisi setelah meninggal agar persaudaraan atas nama Islam (ukhuwwah islamiyyah) lebih membekas daripada persaudaraan sedarah. Ia menjadikan Ja'far bin Abi Thalib bersaudara dengan Mu'adz bin Jabal; Hamzah bin Abdul Muthallib dengan Zaid bin Haritsah; Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair; Umar bin Khaththab dengan Uthban bin Malik; Abdurrahman bin `Auf dengan Sa`d bin Rabi` dan seterusnya..."
Dalam kisah lain diceritakan bahwa orang-orang Anshar sampai rela membagi dua kekayaan mereka agar kaum Muhajirin dapat terus bertahan hidup di Madinah. Bahkan ada yang bersedia memberikan salah satu istrinya untuk diperistri orang Muhajirin yang datang sendiri, sekalipun akhirnya ditolak.
Fakta ini memperlihatkan bahwa masyarakat sungguh-sungguh diarahkan untuk dapat memecahkan problemnya sendiri. Dari masyarakat, untuk masyarakat, dan oleh masyarakat. Tidak ada intervensi politik yang berarti untuk mempersatukan mereka. Semuanya dilakukan atas keberdayaan masyarakat sendiri. Sampai urusan kebutuhan ekonomi pun, masyarakat harus mau saling membantu dengan sendirinya. Muhammad hanya mendampingi dan memfasilitasi mereka. Selain persatuan, keteraturan pun menjadi syarat terciptanya masyarakat mandiri-sejahtera.
Tanpa ada keteraturan, masyarakat akan berkembang menjadi anarkis dan semena-mena. Keteraturan mengandaikan adanya aturan-aturan dan institusi yang diterima oleh seluruh masyarakat. Inilah hal ketiga yang dilakukan Muhammad. Muhammad beserta seluruh penduduk Madinah, baik yang beragama Islam ataupun tidak, duduk bersama merumuskan aturan-aturan kemasyarakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Oleh para peneliti, piagam ini dipandang sebagai konstitusi pertama yang pemah ada di dunia.
Pada sisi ini Muhammad telah memasuki wilayah politik. Namun, sama sekali tidak terlihat adanya kepentingan kekuasaan dan ambisi pribadi dalam berpolitik. Rakyat tetap menjadi acuan dan prioritas utama. Institusi politik tidak juga dijadikan lembaga "kekuasaan" yang dapat digunakan untuk memeras rakyat dengan semena-mena. Piagam Madinah menjadi saksi sepenuhnya atas hal itu.
Piagam Madinah antara lain menjamin kebebasan semua suku untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaannya (pasal 3-11) dan melaksanakan syari'at agama masing-masing (pasal 25-35). Orang-orang yang lemah akan mendapatkan perlindungan sampai dia kuat (pasal 15 dan 16). Semua masyarakat harus memenuhi kebutuhannya sendiri, sambil tetap memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan (pasal 12a, 15, 16, 20b, 37, 38, 40). Dari situ terlihat bagaimana Muhammad menginginkan masyarakat dapat berdaya dan mandiri berdasarkan kesanggupan masyarakat sendiri. Untuk menjaminnya, dibentuk institusi politik yang diterima oleh semua golongan di bawah pimpinan Muhammad sendiri. Bukankah semua itu memperlihatkan bahwa Muhammad sebagai seorang pemimpin betul-betul berkeinginan mewujudkan kesejahteraan bagi semua rakyatnya? Inilah pelajaran berharga yang diwariskan Rasulullah pada kita. Wallahu a'lam bish-shawab.
republika, Tiar Anwar Bachtiar
0 komentar:
Posting Komentar