Menyikapi Dunia
Bukan rahasia kalau manusia lebih cenderung kepada urusan duniawi daripada urusan ukhrawi. Padahal semua tahu bahwa dunia hanya sementara. Boleh jadi inilah manifestasi fitrah manusia. Allah SWT berfirman, Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang paling baik (surga). (QS. Ali Imran: 14).
Karena itu, siapa saja yang berhasil melawan kecenderungan ini, sekaligus membelokkannya ke arah yang lebih baik, maka ia akan meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Jelas, manusia tidak akan mampu hidup tanpa menggunakan unsur-unsur dunia. Walaupun demikian, dunia bukan segalanya. Dia adalah alat dan perantara (wasilah) guna meraih tujuan tertinggi (ghoyah), berupa keridhaan Allah.
Bagaimana kita memanfaatkan dunia ini, khususnya memaksimalkan keberadaan kita di dunia? Ada sebuah nasihat dari seorang ahli hikmah. Ia mengatakan bahwa ada enam hal yang harus dilakukan seorang Muslim, pada saat orang lain melakukan enam hal lainnya. Pertama, kalau orang lain sibuk mengumpulkan amal kebaikan di dunia, maka sibukkanlah kita untuk menyempurnakan amal kebaikan itu. Kedua, kalau orang lain menyibukkan diri dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka sibukkanlah diri kita untuk menyempunakan ibadah-ibadah wajib.
Ketiga, kalau orang lain disibukkan dengan urusan-urusan lahiriyah, maka sibukkanlah kita dengan urusan batiniyah. Keempat, kalau orang lain disibukkan dengan mengoreksi keburukan-keburukan orang lain, maka sibukkanlah kita untuk mengoreksi keburukan-keburukan diri. Kelima, kalau orang lain sibuk untuk memakmurkan dunianya, maka sibukkanlah kita untuk memakmurkan kehidupan akhirat. Dan terakhir, kalau orang lain sibuk untuk mencari dan mendapatkan pujian dari manusia, maka sibukanlah diri kita untuk mencari dan mendapatkan pujian dari Allah SWT.
Enam macam kesibukkan yang diungkapkan ahli hikmah di atas, sejatinya mewakili kecenderungan sikap manusia dalam hubungannya dengan dunia. Secara lebih terperinci, Imam Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin mengungkapkan tiga karakter manusia saat beramal.
Pertama, tipe hamba sahaya. Manusia dengan tipe hamba "hanya" akan berbuat tatkala ada yang mengawasi. Yang mendasarinya adalah rasa takut. Ia beramal karena rasa takut.
Kedua, tipe pedagang. Manusia tipe pedagang lebih banyak mendasarkan amalnya pada aspek untung rugi. Ia beramal bila amal itu akan mendatangkan pahala dan kebaikan padanya. Itulah pedagang yang selalu mencari untung.
Ketiga, adalah tipe 'arifin'. Orang-orang 'arifin beribadah bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Mereka beribadah semata-mata karena mengharap ridha Allah. Inilah tingkat tertinggi.
Agar kita bisa sampai ke tingkat ketiga ini, kita harus mau berproses dan terus berproses. Salah satu indikatornya adalah sikap istiqamah (tetap konsisten) dan profesional dalam beramal. Tidak akan pernah diraih sifat istiqamah, kecuali kita memiliki sifat ihsan dalam beramal. Apakah ihsan itu? Rasulullah SAW mengungkapkan makna ihsan, "Engkau mengabdi kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu" (HR Muslim). Wallahu a'lam.
Khutbah Jumat
Manajemen Diri
republika
0 komentar:
Posting Komentar