Ghibbah ( Gosip / Fitnah ) Menjelek jelekan orang lain
Perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) satu sama lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh meng-ghibah saudaranya mukmin walaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh meng-ghibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!
Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari meng-ghibah saudara-saudaranya mukminin. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujurat: 12]
Hendaknya orang yang ditimpa penyakit seperti ini (ghibah-pen) mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan hendaknya ia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah menjelek-jelekkan warisan Rasulullah, karena sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Maka apabila para ulama telah di-jarh dan di “tikam” maka manusia tidak lagi mempercayai ilmu yang mereka miliki; yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak lagi mempercayai syariat yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh ini.
Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika anda melihat satu kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan tetapi anda jangan men-jarhnya sementara ia adalah seorang alim yang dikenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan: “Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini adalah lemah.” Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan utama.
Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknya disebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan) adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka ia harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia katakan dan andapun mengatakan pendapat yang anda katakan.
Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan bersamanya.
Yang penting saya menasehati saudara-saudaraku untuk menjauhi musibah dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh –pen), saya mohon kepada Allah Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu yang dapat membuat kita tercela atau mencelakakan kita dalam agama dan dunia kita.
Sebab terjatuhnya seseorang dalam Ghibbah :
1. Tidak melakukan tatsabbut dan tabayyun (check and re-check), firman ALLAH SWT:“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa sebuah berita, maka tabayyun-lah kalian terhadap kebenaran berita tersebut, agar jangan sampai kalian menimpakan kerugian pada suatu kaum karena kebodohan kalian, sehingga kelak kamu akan menyesal.” (QS 49/6)
2. Dikuasai oleh amarah dan hawa nafsu, maka seorang muslim adalah orang yang kuat menahan hawa nafsu dan kemarahan tersebut, karena keduanya adalah sifat syaithan dan tidak pantas seorang mu’min memilikinya, firman ALLAH SWT:“Dan orang yang menahan marahnya, dan orang yang memaafkan manusia, dan sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang suka berbuat baik.” (QS 3/134)
3. Lingkungan dan pergaulan yang jahat, suka mencaci dan berburuk-sangka, sebagaimana disebutkan dalam hadits:“Setiap manusia terlahir dalam fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
4. Dengki dan Iri-hati, ketika kedengkian telah bersarang di dalam hati maka matahari yang terang bersinar akan terlihat gelap-gulita, tanaman yang indah merona akan nampak buruk dan sumpek. Ambillah pelajaran dari kisah putra Adam as, walaupun ia hidup di bawah asuhan seorang nabi, tetapi ketika kedengkian menguasai hatinya maka ia tega membunuh saudaranya sendiri, walaupun saudaranya itu telah menasihatinya dan tidak melawannya sama sekali, perhatikanlah ucapan Habil ketika akan dibunuh oleh saudaranya Qabil: “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada ALLAH RABB sekalian alam.” (QS 5/28). Lalu ia menasihati saudaranya dengan halus tentang dosa dari perbuatan membunuh tersebut, dengan harapan saudaranya akan sadar: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka dan yang demikian itulah pembalasan orang-orang yang zhalim.” (QS 5/29),tetapi kedengkian yang besar membuat Qabil tidak perduli lagi dengan agama dan aturan syariat, demikianlah perbuatan dosa kedua yang dilakukan oleh makhluq adalah karena kedengkian.
5. Ujub, Ghurur dan Takabbur, ketika manusia atau kelompok manusia sudah merasa dalam hatinya bahwa dirinya lebih pandai dan alim maka ia telah ujub, lalu jika ia mulai meremehkan dan mencela orang lain maka ia menjadi ghurur, dan ketika ia telah merasa bahwa kebenaran hanya ada pada diri dan kelompoknya sementara yang lain semua salah dan ia tidak mau menerima kebenaran dari orang lain walaupun disampaikan dengan hujjah yang nyata maka ia menjadi takabbur. Lihatlah perkataan Fir’aun:“Apakah aku yang lebih baik ataukah orang yang hina ini yang hampir tidak bisa jelas dalam berbicara?” (QS 43/52-53)Dalam ayat ini Fir’aun tidak memperhatikan kebenaran yang disampaikan oleh Musa, tapi ia berusaha mencari-cari kelemahan yang ada pada diri Musa saja dengan tujuan untuk menghinanya.
6. Menutupi kelemahan diri, orang yang tidak mau diketahui kelemahannya sehingga ia berusaha menjelek-jelekan orang lain, hal ini dilakukannya karena merasa ia akan kalah pengaruh dan ketenaran dari orang yang di-ghibbah-nya, maka ia meng-ghibbah orang tersebut untuk menutupi kekurangannya dan kelompoknya dari orang tersebut, sehingga orang-orang memujinya dan menganggapnya alim dan orang pun menjelek-jelekan orang lain yang di-ghibbah-nya tersebut.
7. Disibukkan dalam Hal Sepele, orang-orang yang terbiasa disibukkan dengan hal yang kecil dan tidak mengetahui masalah-masalah besar yang dihadapi oleh ummat akan terus mencari-cari kesalahan orang lain, karena banyaknya waktu yang dimilikinya yang seandainya waktu tersebut digunakannya untuk mengurus masalah-masalah ummat yang sudah sedemikian gawat ini maka tidak akan ada waktu baginya untuk meng-ghibbah. Hal ini juga dimungkinkan karena tidak mengerti tentang prioritas amal yang harus dilakukan.
8. Tidak mengetahui tentang Bahaya Ghibbah, ummat yang tidak mengetahui tentang dosa besar dan bahaya ghibbah akan menganggap ghibbah sebagai hal yang sepele, padahal ia sangat besar disisi ALLAH SWT:“Dan kalian menganggapnya sepele, padahal ia disisi ALLAH adalah sangat besar (dosanya).” (QS 24/15)Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya:Tidak aku lihat dosa yang pelakunya demikian keras ditegur oleh ALLAH SWT dan diancam dengan azab yang sangat keras, melainkan dosa orang-orang yang menuduh dengan tuduhan bohong dan meng-ghibbah ummul mu’minin Aisyah ra.
9. Tidak Terbiasanya Ummat dalam Hukum Syariah, ummat yang faham maka mereka akan segera menghentikan para pelaku ghibbah siapapun mereka, mencegahnya dengan lembut dan keras atau meninggalkannya sama sekali sebagai hukuman syariat terhadapnya agar para pelaku ghibbah menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar.
10. Tidak Jelas dalam Penyampaian, kata-kata, ungkapan, cerita yang tidak jelas atau tidak selesai, bisa mengakibatkan kesalahfahaman diantara yang mendengar. Maka nabi SAW jika berbicara jelas, tegas dan tidak bertele-tele agar yang mendengar dapat memahaminya dengan sempurna, dan beliau SAW juga biasa mengulangi kata-katanya 2 atau 3 kali, supaya jelas.
11. Bercanda dan Main-Main, bercanda dan main-main dalam Islam ada batasnya, canda itu tidak boleh memasukkan kejelekan orang lain sebagai bahan tertawaan dan permainan, sabda nabi SAW:“Sesungguhnya seorang mengatakan 1 kata yang tidak disadarinya bahayanya, yang akibatnya ia dilemparkan ke neraka dalam jarak lebih jauh dari jarak Timur dan Barat.” (HR Bukhari 11/265-266, Muslim 2988, Tirmidzi 2315, Thabrani 2/985)
3 komentar:
saking enaknya ghibah sampe gak pedulikan ALLAH mengancam dgn azab sengsara dihari tua
terus gimana kalau baca berita aib orang di media atau nonton berita gossip di tv
Inilah banyak sekali saat ini dalam pilpres saling memfitnah dan mencari kesalahan2 sesama saudara
Posting Komentar