Pages

Hormati Hak Anak, Anda kan Tersenyum di Hari Tua



Siapa bilang anak tak punya hak dalam keluarga? Bahkan seorang balita pun tetap memiliki hak-hak yang wajib dihormati oleh kedua orangtuanya. Orang tua seringkali menganggap anak tak banyak memiliki hak selain apa yang sudah ditetapkan dan menjadi kebiasaan. Misalnya ASI (air susu ibu), ini merupakan salah satu hak anak yang bahkan ditetapkan oleh Allah bersamaan dengan ketentuan kelahiran si anak. Ayat dalam Al Qur’an yang menggambarkan perjuangan seorang ibu mengandung sembilan bulan lamanya, menyatu dengan perjuangan menyusui hingga 2 tahun. Artinya, perjuangan seorang ibu tak selesai seiring usainya masa persalinan, melainkan terus hingga anak-anak yang sesungguhnya amanah Allah itu besar dan sudah sanggup membedakan mana yang benar dan salah untuk jalannya kemudian.

Banyak hak anak yang selama ini tidak diakui para orang tua, misalnya saja untuk berpendapat. “Huss, anak kecil tahu apa…”, “Anak kemarin sore, sudah pintar ngomong macam-macam” adalah contoh dari sekian banyak penafian hak anak dalam keluarga. Sebagai individu dan bagian dari sebuah keluarga, jika seorang anak sudah bisa berpikir dan mengeluarkan pendapat terhadap satu hal, selayaknya orang tua mau mendengarkan mereka. Sikap orangtua yang tak mau dan tak pernah memberikan kesempatan anak untuk berpendapat, apalagi melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, adalah sikap otoriter yang bisa mengekang sehingga memungkinkan tumbuhnya benih-benih pembangkangan anak terhadap orang tua.

Selama ini kita hanya mengenal beberapa hak anak seperti mendapatkan nama yang baik, memperoleh kasih sayang, pendidikan yang berkualitas, lingkungan yang baik, bahkan untuk anak perempuan, juga berhak untuk dipilihkan jodoh yang baik oleh orangtuanya. Itupun satu atau beberapa dari hak-hak tersebut masih sering terabaikan (diabaikan?) para orangtua yang salah kaprah memandang bentuk kasih sayang dan perhatian, juga salah memilihkan sarana pendidikan. Terlepas ada sebagian orangtua yang ‘terpaksa’ menyekolahkan anak mereka terkait soal ekonomi, tapi tak bisa disangkal jika banyak orangtua yang lebih mengutamakan pendidikan formal tanpa menganggap penting pendidikan agamanya. Betapa banyak kita mendengar orang tua yang teramat bangga terhadap kefasihan sang anak ber-cuap-cuap dengan bahasa asing, atau kemahirannya mengoperasikan komputer. Tapi disaat yang sama, mereka tenang dan tak merasa sedih anaknya tak mengerti baca tulis Al Qur’an.

Sudahkah menjadi orang tua yang baik?

Perkembangan teknologi, pesatnya arus informasi yang terus meningkat per detik, semakin membuat banyak orangtua tak berdaya melakukan filterisasi buat anak-anak mereka. Karena pada saat yang sama, orangtua-orangtua juga teramat kewalahan oleh padatnya acara dan kepentingan usaha, paling tidak oleh kesibukan mencari nafkah. Seorang ayah misalnya, sering beranggapan tugas utamanya adalah mencari nafkah dan mencukupi semua kebutuhan keluarga, termasuk anak-anak. Soal pendidikan, ibunyalah yang menjadi tumpuan. Lalu bagaimana dengan anak-anak ‘malang’ yang kedua orangtuanya sibuk bekerja? Guru di sekolah menjadi harapannya sebagai pengganti orangtua. Di rumah? Otomatis anak lebih banyak ‘dididik’ oleh Babysitter dan pembantu rumah tangga.

Saat ini banyak berkembang model pendidikan plus yang menawarkan pendidikan ekstra dan berbagai macam janji plus-plus dengan harga yang juga wah plus-nya. Buat orang mereka yang berduit, mungkin bukan masalah berapapun biaya yang diminta agar anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik. Tentu menjadi masalah tersendiri bagi orang tak punya, anak-anaknya harus mendapatkan sekolah dibawah standar dengan guru-guru yang juga pas-pasan. Kenapa harus saya katakan seperti ini? Karena guru-guru profesional dengan skill yang tinggi biasanya sudah dikontrak habis oleh sekolah-sekolah plus. Dan sisanya, mereka yang tidak terjaring ke kelompok guru profesional itulah yang ada di sekolah-sekolah standar. Yang menyedihkan, konsentrasi guru-guru itu masih harus terpecah oleh pikiran tentang biaya hidup yang tak bisa dipenuhi oleh gaji mereka yang jauh dibawah standar, bahkan tidak manusiawi, mengingat jasa guru yang melahirkan generasi-generasi bangsa berkualitas.

Terlepas dari mampu tidaknya orangtua menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan bermutu, yang terpenting disadari adalah bahwa waktu mereka di sekolah hanya beberapa jam saja, dan sisanya dari 24 jam itu lebih banyak di rumah. Artinya, sebagus apapun sekolah tempat anak-anak itu ditempatkan, tetap saja peran orangtua harus lebih dimaksimalkan. Pertanyaannya? Siapkah para orangtua itu menjadi guru sebenarnya bagi anak-anak mereka? Sudahkah mempersiapkan diri dan meningkatkan kualitasnya selaku orangtua?

Para orangtua harus menyadari, bahwa mereka tak bisa mengandalkan dan berharap banyak terhadap lembaga-lembaga pendidikan berkualitas, karena orangtua adalah guru terbaik buat anak-anaknya. Sebelum bercita-cita menjadikan anak mereka menjadi anak shalih, sudahkah keshalihan itu tercermin dalam sikap dan keseharian orangtua? Sebelum menginginkan anak-anak mengerti dan mentaati kewajibannya sebagai anak kepada orangtua, sudahkah orangtua memenuhi kewajibannya memenuhi hak anak-anak?

Anak-anak butuh figur, dan itu hak mereka terhadap orangtuanya. Kasih sayang orangtua juga tak bisa tergantikan oleh materi yang berlimpah, apalagi oleh seorang babysitter atau pembantu rumah tangga. Tentu Anda para orangtua tak pernah berkeinginan dititipkan ke panti jompo oleh anak-anak Anda kelak, Anda juga tak pernah berharap anak-anak tak menghormati, tak menghargai dan acuh terhadap perintah dan nasihat Anda, sebagai balasan Anda tak pernah memberikan kesempatan mereka untuk berpendapat. Padahal kita mengerti, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah didengarkan, dan anak tentu juga memiliki kebutuhan itu. Pernahkah Anda bermimpi anak-anak Anda rajin beribadah dan senantiasa mendo’akan Anda, baik disaat hidup maupun nanti Anda sudah tak lagi mendampingi mereka? Tentu Anda tahu apa yang harus dilakukan saat ini terhadap anak-anak sebelum mereka tumbuh menjadi manusia yang bukan Anda cita-citakan. Yakinlah, jika semua hak anak sudah anda penuhi, Anda boleh tersenyum di hari tua dan berbisik bangga, “Anak sukses itu, akulah orangtuanya”. Jangan sampai kalau anak ditanya siapa orang tuanya dia berkata "Ibuku Babysister Ayahku Driver"
Wallaahu ‘a’lam bishsowaab.

Bayu eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar