Jiwaku adalah Wanita
Sabtu (9/6/2001), mungkin jutaan orang (sebagian kecilnya wanita) berdecak kagum menyaksikan ‘keperkasaan’ Laila Ali kala merobohkan lawannya Jacqui Frazier-Lyde yang juga bisa disebut partai ulangan pertarungan ayah mereka di tahun 1974 dan 1975.
Jelas agak aneh menyandangkan kata ‘keperkasaan’ untuk Laila Ali yang seorang wanita itu. Sebab kata yang sebelum mendapat imbuhan berasal dari kata ‘perkasa’ itu, lebih pas ditujukan untuk kalangan laki-laki. Namun, seolah tidak ada kata lain untuk menggambarkan kehebatan Laila itu.
Sebenarnya, kita tidak bisa menyalahkan bahasa yang kerap digunakan dalam olahraga adu jotos antar manusia itu. Lebih patut disalahkan, kenapa harus ada tinju wanita, dimana yang beradu adalah wanita, sebagian penontonnya juga wanita. Jelas ini menyalahi kodrat kewanitaan yang halus, lembut dan membenci kekerasan.
Banyak wanita salah menafsirkan emansipasi atau yang biasa disebut dengan persamaan hak dan derajat mereka dengan saudara mereka, laki-laki. Sehingga tidak jarang kita melihat tuntutan-tuntutan yang kadang mengesampingkan batas-batas kodrat kewanitaan. Misalnya, keinginan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ataupun kegiatan yang merupakan otoritas laki-laki. Sehingga kecenderungan tersebut semakin meng-ilegalkan peran maupun fungsi wanita yang itu tidak bisa dilakukan oleh laki-laki seperti, reproduksi dan mengatur rumah tangga.
Dr. T. Berry Brazelton, seorang neonantologi dari Amerika Serikat menulis buku berjudul “Infants and Mothers”, yang berisikan himbauan kepada kaum ibu atau kaum wanita untuk menyadari bahwa peran terpenting perempuan adalah dengan menjadi ibu. Bahwa menjadi ibu harusnya juga menjadi target utama wanita, seperti halnya target yang mereka capai dalam perjalanan karirnya.
Menurut teori psikoanalisa dari Sigmund Freud, anak wanita mengalami apa yang dinamakan penis envy, yaitu pada masa dimana anak wanita mengalami transisi dari mencintai wanita (ibunya) menjadi mencintai pria (ayahnya, kemudian laki-laki lain pengganti ayah). Lebih jauh menurut Freud, transisi ini dialami anak wanita ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki penis. Anak wanita menyadari bahwa penis yang dimiliki anak laki-laki terlihat sebagai bagian yang menonjol dari pada klitoris yang dimilikinya, kecil dan letaknya tersembunyi. Anak wanita juga mendapati bahwa apa yang dimiliki anak laki-laki itu merupakan organ tubuh yang superior.
Dengan kata lain ingin dikatakan bahwa posisi wanita yang inferior itu diakibatkan karena mereka tidak memiliki penis. Dan karena anak wanita dalam perkembangannya tidak memiliki kecemasan dengan adanya ‘kastrasi pada penis’, menurut Freud akan menyebabkan anak wanita, tidak seperti anak laki-laki, tidak termotivasi untuk menjadi rasional. (Jurnal Perempuan edisi 16)
Sehingga saat ini berkembang pemahaman yang amat keliru, bahwa wanita-wanita bekerja bukan saja untuk melakukan kegiatan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup. Tetapi juga untuk menunjukkan kepada kaum laki-laki bahwa mereka mampu membiayai hidup. Sebab jika demikian, sadar atau tidak, mereka telah terjebak pada Angel's Conspirations, bahwa kaum wanita harus bekerja jika tidak ingin terus menerus menjadi manusia kelas dua, setelah laki-laki.
Selain itu, fenomena yang menggejala saat ini memperlihatkan, sebagian kaum wanita lebih menyukai berpakaian seperti layaknya laki-laki. Dua hal diatas, seolah membenarkan pandangan Freud tersebut.
Namun teori Freud tersebut ditentang oleh kaum feminis di tahun 1970-an seperti Betty Freidan, Shulamit Fire Stone dan Kate Millet. Mereka dan juga para psikolanalisa lainnya berpendapat, posisi wanita yang tidak mempunyai kekuasaan di masyarakat, dibanding laki-laki, bukan disebabkan oleh keadaan biologisnya, tetapi lebih pada adanya konstruksi sosial pada feminitas. Bahkan mereka juga mengatakan, kecemburuan wanita terhadap laki-laki lebih kepada kenyataan bahwa laki-laki lebih mendapatkan hak istimewa dalam masyarakat. Dan hak istimewa itu tidak didapatkan oleh wanita.
Anggapan bahwa anak laki-laki adalah penerus garis keluarga, telah membuat posisi anak wanita menjadi tidak menguntungkan. Di dalam masyarakat, hingga kini masih kita temui adanya kesan bahwa mempunyai anak laki-laki lebih membanggakan dari pada mempunyai anak wanita. Terlebih jika anak laki-laki tersebut terlahir sebagai anak pertama. Jika sudah dewasa, anak laki-laki mendapat tugas untuk melindungi adik-adiknya, terutama adik wanita. Tugas yang dibebankan kepada anak laki-laki ini kemudian berkembang menjadi pelindung keluarga. Hingga pada akhirnya, otoritas keluarga benar-benar jatuh pada anak laki-laki.
Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan wanita sebagai alferthought, untuk menjadi penolong pria. tetapi, peranan yang rendah ini kini ditolak oleh semakin banyak wanita. Status wanita berbeda-beda sepanjang zaman. “Bila diukur dengan kekuatan dan partisipasinya dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat, status mereka agak tinggi pada akhir kekaisaran Romawi, kemudian sangat menurun dengan penyebaran agama Kristen,” begitu kata Horton dan Leslie, mengawali tulisannya tentang diskriminasi seks sebagai masalah sosial.
Orang boleh setuju atau tidak dengan pendapatnya. Tetapi yang jelas, pandangan bahwa wanita adalah makhluk rendah bukanlah milik orang Yahudi saja. Kongfucu (Confucius) menyatakan bahwa ada dua jenis manusia yang sukar diurus, yaitu turunan orang rendahan dan wanita. Aristoteles, tokoh logika terkenal itu, malah menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Dalam ajaran lain juga dinyatakan, “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang serigala,” Rig Weda:10, 95, 15.
Di tanah Arab, pada zaman Jahiliyah, memiliki anak wanita dianggap aib, sehingga mereka banyak melakukan pembunuhan atas anak-anak wanita. Islam mengakhiri praktek-praktek jahiliyah tersebut dan sekaligus melakukan usaha emansipasi yang pertama dalam sejarah. Will Durant, seorang pencatat sejarah umat manusia, menulis tentang jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita.
Dia mengizinkan kaum wanita untuk mendatangi masjid, tapi dia percaya bahwa “rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka”. Namun, bila mereka datang menghadiri khotbah-khotbahnya, dia memperlakukan mereka dengan baik, meskipun mereka membawa bayi-bayi mereka. Jika, kata sebuah hadits, dia mendengar tangisan seorang anak, maka dia akan memperpendek khotbahnya, agar sang ibu tidak merasa risau. Dia mengakhiri praktek pembunuhan terhadap bayi oleh orang-orang Arab. Dia menempatkan kaum wanita sejajar dengan kaum pria dalam hal hukum dan kebebasan finansial. Mereka (kaum wanita) boleh melakukan profesi absah apapun, memiliki perolehannya, mewarisi kekayaan dan menggunakan milikannya sesukanya. Dia telah menghapus adat Arab memindahtangankan kaum wanita sebagai milikan dari ayah kepada anak laki-laki.
Petikan tulisan Durant diatas tentu saja tidak menggambarkan seluruh pandangan Islam tentang wanita. Paling tidak, petikan itu menunjukkan pengakuan sejarawan barat tentang kedudukan wanita yang tinggi setelah kehadiran Islam.
Dalam Islam, pria dan wanita berhak sama atas hasil usahanya. Bahwa hasil usaha seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya, “ … dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan …” (QS. 4:32).
Juga hak atas perlindungan hukum yang sama, dan atas kesempatan meningkatkan kualitas diri dengan mencari ilmu pengetahuan. Muhammad Quthb menuliskan dengan jelas:
Seandainya wanita menginginkan taraf kemanusiaan yang sama dengan kaum pria, maka hak persamaan seperti itu telah diberikan Islam kepada mereka, baik dari segi teori mapun praktis, didepan undang-undang. Seandainya kaum wanita menginginkan kebebasan ekonomi dan kebebasan berhubungan langsung dengan masyarakat, maka hak-hak kebebasan seperti itu telah diakui Islam, malah Islam merupakan agama yang pertama mengakui hak-hak itu. Seandainya kaum wanita menginginkan hak untuk belajar, maka hak itu bukan saja telah diberikan Islam, malah Islam telah menjadikannya suatu tugas wajib atas mereka. Seandainya kaum wanita tidak mau dikawin tanpa seizin dia, dan menuntut hak untuk melamar sendiri suami yang disukainya, seandainya mereka menuntut diberi layanan yang baik selama mereka mereka menjalankan tugas-tugas yang wajar sebagai istri, dan menuntut hak bercerai apabila mereka diperlakukan buruk, maka seluruh hak itu bukan saja telah diberikan dan dijamin dalam Islam kepada kaum wanita, malah Islam telah mewajibkan hal-hal itu atas kaum lelaki. Seandainya kaum wanita menginginkan hak bekerja diluar rumah, maka hak itu juga telah diizinkan Islam.(Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif).
Namun demikian, walaupun Islam memberikan hak yang sama kepada wanita, Islam juga memperingatkan bahwa pria dan wanita tidaklah sama (QS. Ali Imran:36). Rasulullah melarang wanita yang meniru-niru laki-laki, seperti juga laki-laki yang meniru-niru wanita. Wanita berbeda dengan laki-laki, baik fisiologis maupun psikologis. Perbedaan ini dimulai sejak minggu keenam dalam periode. Wanita memiliki hormon ekstrogen dan progesteron yang dominan, sedangkan laki-laki memiliki hormon androgen. Laki-laki memiliki tubuh yang rata-rata lebih besar (sexual dimorphism). Karena itu, sebanding dengan tubuhnya, otak laki-laki rata-rata lebih besar dari pada otak perempuan. Laki-laki cenderung bertindak instrumental, sedangkan wanita cenderung ekspresif.
Dalam pandangan Islam, perbedaan itu tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih rendah dari pada yang lain. Perbedaan itu dipandang sebagai pembagian peranan manusia dalam proses kehidupan. Islam bahkan memandang fungsi “keibuan” (maternal function) seorang wanita sebagai suatu yang vital bagi kehidupan manusia. Wallahu a’lam bishowab.
0 komentar:
Posting Komentar